Dari Hati


SABAR ITU NIKMAT

Si kecil “Azzam” sedang bermain kejar-kejaran dengan teman-teman sebayanya. Anak desa yang yatim berusia enam setengah tahun itu baru tiga bulan masuk Sekolah Dasar Negeri di dekat rumahnya. Setiap sore, seperti biasa anak-anak bermain-main bersama. Ada yang main petak umpet, ada yang main kelereng, ada yang main lompat karet, dan ada yang sekedar kejar-kejaran !! Didekat mereka bermain, ada salah seorang penduduk desa yang sedang membangun rumah.
Penduduk disini rata-rata menggunakan air pancuran yang mengalir dari atas untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Namun penduduk yang sedang membangun rumah ini membuat sumur sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Galian sumur itu baru sekitar dua seperempat meter dalamnya. Dan karena saat itu sedang musim hujan, galian itu belum diteruskan karena hampir penuh berisi air hujan. Si kecil Azzam tidak menyadari ada bahaya di tempat ia bermain-main. Ia terus berlari kejar-kejaran dengan temannya. Tiba-tiba Azzam tersandung dan terpeleset ..... blung ..... Azzam masuk kedalam galian sumur !!
Waktu adzan Ashar sedang dilantunkan dari sebuah Musholla di desa tersebut. Seorang Janda muda berparas cantik baru saja selesai mengambil air wudlu dipancuran air disebelah rumahnya. Baru setengah tahun dia ditinggal wafat suaminya, ketika sedang berangkat pergi untuk menunaikan shalat Jum’ah. Saat itu sebuah sepeda motor yang sedang kehilangan kendali melaju kencang dari atas menyerempetnya ketika sedang berjalan di pinggiran jalan. Suaminya dan pengendara sepeda motor sama-sama terpelanting jatuh.
Pengendara sepeda motor langsung meninggal di tempat, sedang suaminya tak sadarkan diri dan langsung dibopong para tetangganya yang kebetulan sama-sama berangkat shalat Jum’ah, menuju ke balai puskesmas di desa tersebut. Darah segar keluar dari hidung dan telinganya. Dokter puskesmas yang hendak pergi shalat Jum’ah terpaksa harus kembali lagi ke balai untuk menolong suaminterlebih dahulu. Bu Sabar yang diberi khabar oleh salah seorang tetangganya bergegas menuju balai puskesmas untuk melihat keadaan suaminya.
Dan ketika melihat kondisi suaminya yang cukup parah, Bu Sabar hanya bisa pasrah dan tawakkal. Meski demikian tak henti-hentinya lisannya berdzikir menyebut asma Allah dan mengharap kemurahaNYA untuk supaya suaminya dapat disembuhkan. Manusia boleh punya kehendak, namun Allah juga punya kehendak !! saat itu rupanya Allah punya kehendak lain ..... tepat ketika adzan Ashar berkumandang, Pak Sabar yang dikenal sangat ramah dan penyabar itu oleh dokter dinyatakan telah wafat !! Dengan suara lirih terucap kalimah dari lisan Bu Sabar “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Selesai berwudlu, Bu Sabar menghadap kiblat dan mengangkat tangannya sambil melantunkan doa ba’da wudlu. Belum selesai doa dilantunkan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil-manggil sambil membopong seorang anak yang basah kuyup ..... Bu Sabar .... Bu Sabar ..... Azzam tercebur galian sumur bu .... Azzam meninggal !! Bu Sabar tersentak dari doanya ..... wajahnya kelihatan sangat sedih, terucap kalimah lirih dari lisannya “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ..... !!”. Tiba-tiba, Bu Sabar duduk di tanah kemudian bersujud ....!! Para tetangga yang ikut membawa pulang jenazah Azzam terheran-heran .... Bu Sabar tidak menangis sama sekali, meski wajahnya tampak sangat sedih .... tapi apa yang sedang ia lakukan ? Bersujud ? Bersujud untuk apa ? Kenapa harus bersujud ..... ?
Agak lama Bu Sabar bersujud meski beralaskan tanah ..... para tetangga mulai khawatir jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Bu Sabar. Ingatan para tetangganya melayang pada peristiwa meninggalnya Pak Sabar yang baru enam bulan lalu yang juga tepat disaat berkumandangnya adzan Ashar. Seorang Ibu muda berjilbab putih menepuk-nepuk pundak Bu Sabar. Bu Sabar .... Bu Sabar .... ingat bu .... ingat bu .... istighfar ....!! Bu Sabar bangun dari sujudnya. Di dahi dan hidungnya masih menempel sisa tanah bekas sujud. Tampak sekali wajahnya masih sangat sedih. Pandangannya menyapu orang-orang disekelilingnya. Dan, ketika dilihat anaknya masih digendong salah seorang bapak-bapak, Bu Sabar memintanya ..... tolong anak saya bawa kesini pak ..... biar saya sendiri yang menggendongnya !!.
Bu Sabar membawa jenazah Azzam masuk ke dalam rumah diiringi para tetangganya. Dibaringkannya Azzam di kasur diatas dipan yang terletak dekat ruang tamu. Diciumnya anak kecil itu berkali-kali sambil membisikkan beberapa kata-kata. Para tetangga sangat terharu melihat pemandangan di depannya. Suasana sangat hening ..... dan tak ada seorangpun diantara mereka yang berani mengeluarkan suara. Mereka masih tertegun menyaksikan rentetan peristiwa yang baru saja dilihatnya, dan mereka begitu kagum akan ketabahan dan ketawakkalan Bu Sabar !!
Setelah puas menciumi Azzam, Bu Sabar berbalik memandang para tetangganya .... terima kasih bapak-bapak dan ibu-ibu sudah menolong membawa pulang anak saya. Seorang Ibu setengah baya menjawab .... ya Bu Sabar .... nggak apa-apa ..... Ibu yang sabar ya bu .... ibu yang ridho ya .... !! Bu Sabar menganggukkan kepala .... Alhamdulillah dari awal musibah ini saya sudah bisa sabar dan ridho bu .... Alhamdulillah .... Saya teringat sabda baginda Rasul kalau “As Shabru fii awwali shadam .... sabar itu pada saat awal terjadinya benturan” .... saya ngga apa-apa bu .... nggak apa-apa .... insya Allah saya sabar dan ridho !!. Melihat ketabahan Bu Sabar yang sangat luar biasa, seorang Ibu yang lainnya yang sejak tadi penasaran tak kuasa bertanya .... maaf Bu Sabar, tadi disamping rumah, saya melihat ibu sujud ketika mendengar musibah ini .... apa yang ....? belum selesai ibu tersebut dengan pertanyaannya, Bu Sabar sudah menjawab .... Betul bu .... saya tadi melakukan sujud syukur bu ...!! Saya memang sangat sedih ketika mendengar anak saya satu-satunya dipanggil Allah !! bagaimana mungkin tidak sedih bu .... dia satu-satunya yang menemani dan menjadi penghibur saya sejak almarhum suami saya meninggal !! Dia juga yang menjadi tumpahan semua kasih sayang saya selama ini !! Dia juga yang menjadi harapan saya untuk meneruskan cita-cita bapaknya yang belum terlaksanakan !!
Tapi bu .... disaat bersedih tadi saya teringat firman Allah “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar : 10). Saya juga teringat sabda baginda Rasul “Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah). Saya juga teringat cerita “bu nyai” (Pen : istri pak kyai di kampung) waktu pengajian minggu lalu, katanya kalau kita sabar dan ridho disaat menerima musibah, maka balasannya adalah surga !! apalagi kalau sabar dan ridho ketika ditinggal meninggal anaknya yang masih kecil, bu nyai bilang akan mendapatkan kunci surga, karena anak kecil yang masih suci itu bisa menjadi syafa’at bagi orang tuanya ....!!” itulah bu .... alasan kenapa saya tadi sujud syukur .... mohon doakan saya ya bu .... doakan saya supaya yang dijanjikan Allah dan Baginda Rasul bisa saya dapatkan !!
Para tetangga yang hadir semakin kagum terhadap janda muda berparas cantik ini ..... seorang nenek-nenek berucap “subhaanallah ..... tabah sekali kau nak !!” Bu Sabar mengarahkan pandangannya ke nenek dan berucap .... saya belum seberapa nek, dibanding apa yang dulu pernah terjadi pada istri sahabat Rasul yang bernama Ummu Sulaim ketika anaknya satu-satunya yang masih kecil meninggal dunia. Waktu anaknya meninggal, Ummu Sulaim masih bisa tersenyum manis ketika suaminya baru datang dari bepergian ..... dia juga masih bisa mempersiapkan hidangan yang paling enak untuk suaminya .... dan bahkan dia masih sempat melakukan hubungan suami istri sampai hajat suaminya terpuaskan ....!!
Para tetangga semakin banyak yang berdatangan untuk ta’ziyah. Bu Sabar beranjak dari duduknya. Dia mohon diri pada tetangganya untuk melaksanakan shalat ashar. Kejadian yang baru saja dialami membuat Bu Sabar bertambah khusyu’ dalam shalatnya. Baru saja bertakbir Bu Sabar sudah menangis sesenggukan .... ia ingat akan kebesaran Allah yang tak tertandingi oleh siapapun !! Seusai membaca Fatihah, Bu Sabar membaca beberapa ayat pada akhir surat Az Zumar “wasiiqal ladzinat taqau rabbahum ilal jannati zumaraa ..... Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan. sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu ! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.". Bu Sabar membayangkan dirinya bersama rombongan orang-orang bertaqwa yang masuk surga.
Bayangan itu begitu nyata dipelupuk matanya. Begitu khusu’ dia menghadap dan bermunajat kepadaNYA. Sore itu dia merasakan keni’matan yang luar biasa pada saat berdua denganNYA, sampai-sampai dia lupa akan anaknya yang sangat dicintainya baru saja meninggalkannya !! Suara berisik para tetangga yang ta’ziyah mengganggu kekhusyu’an shalatnya. Assalaamu ‘alaikum warahmatullah ..... Assalaamu ‘alaikum warahmatullah ..... Bu Sabar mengakhiri shalatnya. Kembali dia bersujud untuk berdoa ..... selamat jalan anakku .... selamat jalan anakku ... “sanaltaqii fil jannah ... insya Allah kita akan bertemu di surga ....!!”



BOHONG................

Bila anda ingin sukses sebagai pemimpin, atau anda ingin meraih keuntungan baik keuntungan secara ekonomis ataupun politis,
hanya ada satu kunci sukses: berbohong!

Machiavelli mengingatkan kita semua, 'Buat seorang penipu ulung, selalu ada banyak orang yang siap ditipu.' Menipu dan berbohong
adalah tekhnik yang paling efektif dalam menguasai massa. Bila anda bisa menang dengan menipu, lakukan tipuan. Bila dengan kejujuran anda kalah, campakkan kejujuran tersebut.

Namun apa sebenarnya kebohongan itu? Sissela Bok memberi definis yang bagus. Kebohongan adalah mengkomunikasikan pesan yang dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain, untuk membuat orang
lain itu percaya apa yang kita sendiri tidak percayai. Kebohongan bukan saja misinformasi tetapi juga
meliputi segala pernyataan atau perbuatan yang direkayasa untuk menyesatkan, mengecoh atau
membingungkan.

Lebih celaka lagi, bagi penganut mazhab berbohong ini, kebenaran adalah kebohongan yang terus menerus
diulang dan diceritakan ribuan kali. Orang yang berbuat bohong selalu menciptakan ribuan skenario. Bila satu
skenario gagal, diciptakanlah skenario baru. Begitu seterusnya. Kebohongan memang hanya dapat dipertahankan dengan kebohongan lagi. Bila anda ingin berbohong, ulangi dusta itu ribuan kali. Nati anda akan takjub bahwa orang-orang akan menganggap itulah kebenaran.

Namun mengapa orang harus berbohong? Orang berbohong biasanya disebabkan tiga hal, yaitu kebiasaan, kerakusan dan kedengkian. Satu saja sebab ini ada pada diri kita, dapat dipastikan kita pasti gemar berbohong.

Jikalau ada anak dibesarkan dalam keluarga yang biasa berbohong, dia akan tumbuh sebagai pembohong nantinya. Jikalau sepasang suami isteri biasa berbohong pada sejawatnya, satu waktu nanti diantara suami-isteri pun akan saling membohongi. Kerakusan kita terhadap apa saja, baik itu jabatan, uang ataupun kenikmatan duniawi lainnya, akan membuat kita sadar atau tidak sadar menjadi pembohong kelas berat.
Kedengkian, berbarengan dengan permusuhan kepada golongan lain, mendorong orang untuk menjatuhkan orang lain itu dengan kebohongan.

Kepada mereka yang suka berbohong, cukuplah tiga ayat berikut ini:
"....Sesungguhnya Allah tak akan memberikan petunjuk
kepada orang yang keterlaluan dan suka berbohong (QS 40:28);
Kecelakaanlah bagi setiap pembohong yang berdosa (QS45:17);
Sesungguhnya yang berbuat bohong itu hanyalah orang-orang
yang tidak percaya kepada ayat-ayat Allah....(QS 16:105).

Nabi yang mulia mengingatkan para pendusta, 'Pengkhianatan yang paling besar ialah engkau memberi informasi kepada saudaramu, yang informasi itu mereka percayai, padahal engkau sendiri berdusta (Bukhari dan Abu Dawud).

Kepada mereka yang sering berbohong, ada baiknya kita sampaikan bahwa lambat laun orang akan menyadari dan mencium aroma dusta di lidah anda. Perlahan tapi pasti, setiap orang akan mendeteksi kebohongan anda. Di saat itu terjadi, anda akan terkejut menyadari betapa sempitnya dunia ini ketika semua orang mengetahui kebohongan anda. Yang anda bisa lakukan hanyalah berhenti dan bertobat, atau mencari mangsa baru yang belum tahu siapa anda.Beruntunglah anda bila memilih yang pertama, dan celakalah
anda bila anda masih saja mencari mangsa baru.

Lebih celaka lagi, adalah mereka yang selalu menjadi korban kebohongan, namun tidak sadar dan terus memilih anda sebagai pemimpinnya dan selalu menyediakan ruang bagi anda untuk terus berbohong.

Muslim yang baik, tak akan jatuh dua kali pada lubang yang sama.

Nara sumber


KHIDIR .... OH..... KHIDIR...
Masih hidupkah Khidhr ? Entahlah, saya memang mendengar
cerita seorang 'alim yang mengaku berjumpa Khidhr. Nama
Khidhr memang sudah terlanjur melegenda, meskipun al-Qur'an
sendiri tidak pernah menyebut nama Khidhr secara
terang-terangan. Al-Qur'an melukiskan Khidhr dengan
"...seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS 18:65)


Perhatikan redaksi yang digunakan al-Qur'an. Ternyata, Khidhr atau apapun nama beliau hanyalah satu dari sekian banyak hamba Allah yang telah diberi rahmat dan ilmu. Boleh jadi banyak sekali hamba Allah yang punya kelebihan seperti Khidhr, tetapi Allah tidak beritakan kepada kita atau kita memang tidak mengetahuinya. Tapi itulah Khidhr, sebuah nama yang terlanjur melegenda dan menyimpan misteri yang tak kunjung habis dibicarakan.

Dalam surat al-Kahfi diceritakan bagaimana Nabi Musa ingin berguru dengan Khidhr. Khidhr semula menolak, namun Musa terus mendesak. Perhatikan redaksi al-Qur'an ketika mengutip penolakan Khidhr, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (QS 18:67-68)

Khidhr menolak Musa bukan dengan argumen bahwa Musa itu bodoh atau malas. Khidhr menolak Musa karena Musa tidak akan bisa bersikap sabar. Soalnya, kata Khidhr, bagaimana kamu bisa sabar pada persoalan yang kamu tidak punya ilmu tentangnya?

Begitulah yang terjadi. Musa selalu memprotes dan menyalah-nyalahkan perbuatan Khidhr yang, dipandang dari sudut pengetahuan Musa, merupakan perbuatan yang keliru.

Sayang, kita jarang mau belajar dari kisah Khidhr dan Musa ini. Seringkali kita sebar kata "sesat", "kafir", "menyimpang", "bid'ah" kepada saudara-saudara kita, yang dipandang dari sudut pengetahuan yang kita miliki, melakukan kesalahan besar.

Kita menjadi emosional, kita menjadi tidak sabar. Pada saat itu, ada baiknya kita ingat kembali kisah Khidhr dan Musa. Kisah Khidhr mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran merupakan lambang tingginya pengetahuan.


Menangis...

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bersholat malam.

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat " iyyaka na'budu " Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan " wa iyyaka nasta''in" .

Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar," berkata Abah Latif seusai wirid bersama, " Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah
hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakikat itu."

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang mulut para santri.

" Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, " apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Alloh ..iyyaka na'budu?"

"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Alloh itu sendiri, Abah?" bertanya seorang santri.

"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan."

"Belum jelas benar bagiku, Abah?"

" Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan."

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut para santri.

Dan Abah Latif meneruskan, " Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na'budu.KepadaMu aku menyembah.Tetapi kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami menyembah, na'budu."

"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah.Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita telah capai lebih dari abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu maqom yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu muslim dalam menyembah Alloh di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan.Mengucapkan iyyaka na'budu dalam sholat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita kaum muslim telah membawa
urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Alloh.Maka anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapan kata-kata itu?"

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang para santri.

"Al-fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatulloh di dalam berbagai hubungan kehidupan.Tangis kita akan sungguh-sungguh tak tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan.Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari.Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Alloh, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakikatnya melawan Alloh."

Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut para santri.

"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis.Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu : airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya."

Nara sumber

SYAIR PENJUAL KACANG

Al-Habib , seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa
didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami sholat isya suatu jamaah yang
terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.
Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam,
Al-Habib langsung membalikan tubuhnya, menghadapkan wajahnya
kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.
"Salah seorang dari kalian keluarlah sejenak dari ruang ini, "
katanya, "Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok.
Keluarkan sebagian dariuang kalian, belilah barang beberapa bungkus."
Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali
ke ruangan beberapa saat kemudian.
"Makanlah kalian semua," lanjut Al-Habib, "Makanlah biji-biji
kacang itu, yang diciptakan oleh Alloh dengan
kemuliaan , yang dijual oleh kemuliaan dan dibeli
oleh kemuliaan." Para jamaah tak begitu memahami
kata-kata Al-habib,sehingga sambil menguliti dan
memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.
"Setiap penerimaan dan pengeluaran uang," kata Al-Habib,
"hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai
kemuliaan.Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat
proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan
kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan
menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila
diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh
kemuliaan." "Tetapi ya Habib," seorang bertanya,
"apa hubungan antara kita beli kacang malam ini
dengan kemuliaan?" Al-habib menjawab, "Penjual kacang itu
bekerja sampai larut malam atau bahkan sampai
menjelang pagi.Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota
dan kampung-kampung.Di malam hari pada umumnya orang
tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa
Alloh membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk
pun.Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian
yang sering tak yakin akan kemurahan Alloh, sehingga
cemas dan untuk menghilangkan kecemasan hidupnya
ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta
bersedia melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang."
Suasana menjadi hening.Para jamaah menundukkan kepala
dalam-dalam.Dan Al-Habib meneruskan, "Istri dan anak
penjual kacang itu menunggu di rumah, meunggu dua
atau tiga ribu rupiah hasil kerja semalaman.Mereka ikhlas
dalam keadaan itu.Penjual kacang itu tidak mencuri
atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya.Kalau ia punya
situasi mental mencuri, tidaklah ia akan tahan
berjam-jam berjualan."
"Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?" Al-Habib
bertanya, "Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu,
atau ia lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah
derajat penjual kacang itu dibanding kalian, atau di mata Alloh
ia lebih tinggi maqom-nya dari kalian? Kalau demikian,
kenapa dihati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa
seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang
kecil?"
Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, "Mahamulia Alloh yang
menciptakan kacang, sangat mulia si penjual kacang
itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian
yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan....".
Salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al
-Habib erat-erat.

Ketika Rasa Cinta Itu. . . . . 
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi
hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan diriku berlutut
di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia
mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.Tiba-tiba, adikku mencengkeram
tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!
"Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu
marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan
memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan
apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul
sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!
"Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.Di pertengahan
malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.Adikku menutup
mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah terjadi."Aku masih selalu membenci diriku karena
tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti
baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.Ketika
adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di
pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya merengut, "Kedua anak
kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang>begitu baik..."Ibu
mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa
gunanya?Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
"Ayah,saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak
buku."Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya."Mengapa
kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya
mesti mengemis di jalanan, saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai
selesai!"Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka
adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini."Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan
rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah
mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik
kertas di atas bantalku:"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya
akan pergi mencari kerja dan mengirimkanmu uang."Aku memegang kertas
tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran
sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.Dengan uang yang ayahku pinjam
dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen
pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga
(di universitas) .
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, " Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar
sana!"Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku
kamu adalah adikku?"Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku.
Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu? "Aku merasa tersentuh, dan air mata memenuhi
mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat
dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku
apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. ..
"Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis
kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak
dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku
dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku."Bu, ibu tidak perlu menghabiskan
begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"Tetapi katanya, sambil
tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah
ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu..
"Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang
kurus,seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan membalut lukanya."Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya."Tidak,
tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi,batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku
bekerja dan..."Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya,dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu,
adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berkali-kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka
tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga,mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah disini.
"Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku
menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja
reparasi.Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel,ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.Suamiku
dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya
menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan
pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami
sebelumnya?"Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya."Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya
hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita
seperti apa yang akan menjadi buah bibir orang?
"Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"Mengapa
membicarakan masa lalu?"Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia
26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, "Kakakku."Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali
sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap
hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung
tanganku.Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu
saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu
gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya.Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya
akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan
itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.Kata-kata begitu susah
kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima
kasih kepadanya adalah adikku."Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia
ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari
wajahku seperti sungai.

"When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a
THOUSAND reasons to smile.."
(Thanx to Mas Supriyono di )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar